-->

Hukum Memanfaatkan Barang Gadai

Sudut Hukum | Hukum Memanfaatkan Barang Gadai

Assalamualaikum..
Saya mau brtanya tntang masalh pemanfaatan barang gadai, bahaimana hukumnya? Boleh atau tidak?

 ___________
Hukum Memanfaatkan Barang Gadai
Pada dasarnya segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka boleh untuk dijadikan jaminan (borg) atas utang.[1] Selain itu juga barang yang dijadikan jaminan sudah ada pada saat perjanjian terjadi, sehingga memungkinkan bagi barang itu untuk diserahkan seketika kepada murtahin dan barang tersebut mempunyai nilai menurut syara’.

Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya.[2]

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus pemiliknya, maka murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena, membiarkan hewan itu tersia-sia, termasuk dalam larangan Rasulullah.[3]

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakanya, sesuai dengan jumlah biaya pemiliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.[4]

Hal tersebut dijelaskan dalam hadits yaitu:
Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: binatang tunggangan yang dirungguhkan atau diborongkan harus ditunggangi dipakai, disebabkan ia harus dibayar, air susunya boleh diminum diperas untuk pembayaran ongkosnya, orang yang menunggangi dan meminum air susunya harus membayar.”[5]

Hadits di atas menerangkan bahwa binatang yang dijadikan jaminan boleh diambil manfaatnya seperti untuk tunggangan, diminum air susunya hal ini disebabkan karena adanya biaya yang telah dikeluarkan untuk pemeliharaan tetapi apabila hasil ternaknya ada kelebihannya, maka kelebihan itu dibagi rata antara murtahin dan rahin. Dan apabila orang yang menunggangi dan yang minum air susunya tidak membaginya maka orang tersebut harus membayar kelebihan itu.

Akan tetapi menurut ulama Hanabilah, apabila barang jaminan itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemiliharaan, seperti, tanah, maka pemegang tidak boleh memanfaatkanya.[6]

Ulama Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan ternak, maka pihak penerima gadai boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang. Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa kebolehan memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi gadai, hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus pemiliknya.[7]

Madzhab Maliki berpendapat gadai wajib dengan akad (setelah akad) pemberi gadai (rahin) dipaksakan untuk menyerahkan marhun untuk dipegang oleh penerima gadai (murtahin). Jika marhun sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin), pemberi gadai (rahin) mempunyai hak memanfatkan, berbeda dengan pendapat Imam Asy Syafi’i yang mengatakan hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan penerima gadai (murtahin).[8]

Para ulama fiqih sepakat bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk tindakan yang menyia-nyiakan harta, akan tetapi bolehkah pihak pemegang barang jaminan (murtahin), memanfaatkan barang jaminan itu? Sekalipun mendapat ijin dari pemilik barang jaminan, dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat para Jumhur ulama fiqih.[9]

Para ulama fiqih juga sepakat bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang (rahin).[10]

Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena pihak pemilik barang (pemberi gadai) tidak memiliki barang secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan hukum (barangnya sudah digadaikan). Misalnya, mewakafkan, menjual dan sebagainya sewaktu-waktu atas barang yang telah digadaikan tersebut. Sedangkan hak penerima gadai (murtahin) terhadap barang tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna pemanfaatan/ pemungutan hasilnya. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memnfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang (pemberi gadai) tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi sebagai pemilik apabila barang yang digadaikan itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi miliknya.[11]

Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas merupakan referensi bagi para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat memilih atau mencari jalan tengah dalam hal pemanfaatan barang yang digadaikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga tujuan utama gadai sebagai pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak terabaikan.






[1] Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi (eds), Kifayatul Akhyar Terjemah Ringkas Fiqih Islam Lengkap, Cet.I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h.143.
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuh, Jilid V, (Bairut: Dar Ar-Fikr, 1984), h. 256.
[3] Fathi Ad-Duraini, Al-Fat Al-Islami Al-Muqaram Ma􀂶al Al-Mazzahib, (Demaskus: Mathba’ah Ath-Tharriyin, 1979), h. 555.
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni., Jilid IV, h. 432-433
[5] Imam Abdillah Muhammad bin Ismail Ibnu Ibarhim bin Magrib bin Bani Zibal Bukhori Ja’fi, Sohih Bukhori Jilid 3, (Birut Libanon: Darul Qutub, tt), h. 16
[6] Ibnu Qudamah,  h. 440
[7] Wahbah az-Zuhaili, h. 557
[8] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 12, Alih Bahasa: H. Kamaludin A Marzuki, Pustaka, h, 141.
[9] Abu Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rasyid, Bidayatul Al- Mujtahid Wanihayat Wamuqtasid, (Bairut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989), Jilid II, h. 272.
[10] Ibid, h. 271.
[11] Muhammad Sholikul Hadi, . h.54.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel